Tuesday, February 4, 2020

Urgensi Akhlak Dalam Problematikan Masyarakat Modern

Tags

A.    Problematika Masyarakat Modern

Manusia modern dalam istilah Auguste Comte, tokoh positivisme, adalah mereka yang sudah sampai kepada tingkat pemikiran positif atau serba terukur dn bernilai kuantitatif. Pada tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan pemikiran filosofis yang masih global. Mereka telah sampai kepada pengetahuan yang rinci tentang sebab-sebab segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.



Dari keterangan tersebut diketahui bahwa manusia modern melihat keberadaanya tidak lebih dari keberadaan sebua mobil yang tersusun dari bagian-bagian sebab akibat. Mereka tidak lagi mempercayai adanya spirit yang ada pada dirinya, karena hal tersebut secara meteri tidak pernah ada. Kefanatikan manusia modern terhadap eksistensialisme dan positivisme membuat mereka menafikkan berbagai informasi, baik yang bersumber dari kitab suci atau dari radisis mistik yang menyatakan bahwa manusia itu memiliki unsur spiritual. Karenanay manusia modern mengalami krisis spiritual.

Dengan tanpa mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilannya eksistensialisme dari positivisme yang telah melahirkan manusia yang tidak sempirna, pincang, hanya berorintasi kekinian (duniawiyah), mengingkari spiritualitas dan agama. Mausia yang tidak sempurna ini selanjutnya mengahsilkan perubahan dalam sosial budaya baik yang terjadi secra evolusi maupun revolusi. Setiap perubahan yang tidak dilandasi oleh pegangan hidup dan tujuan hidup yang kuat akan menimbulkan krisis. Sebab hilangnya keyakinan dan ketidaktentuan dalam proses perubahan akan mengakibatkan  ketidakpastian, ketidakpastian menyebabkan kesangsian, kebimbangan melahirkan kegelisahan dan akhirnya memunculkan rasa ketakutan.

Karena itu, manusia modern selalu dihinggapi oleh rasa tidak aman dan kadang malah merasa terancam oleh kemajuan yang diperolehnya sendiri.

Seiring dengan berjalannya IPTEK menyebabkan perubahan problematika yang terjadi anatara masa pra-kemajuan dan pasca-kemajuan IPTEK, adapun beberapa masalah yang terjadi dalam masyarakat modern yakni sebagai berikut:

1.      Desintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang mengalami masalah kemudian pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, ekonom psikolog dan lain-lain, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda sehingga dapat membingungkan manusia.

2.      Kepribadian yang terpecah
kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan berkotak-kotak, maka manusia menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur oleh rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya hal ini dapat menghilangkan nilai rohaniah, jika keilmuan yang berkembang itu tidak berada dibawah kendali agama maka proses kehancuran manusia akan terus berjalan.

3.      Penyalahgunaan IPTEK
Akibat dari lepasnya ilmu pengetahuan dan tekologi dari ikatan spiritual, maka IPTEK telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk penjajahan satu bangsa. Kemampuan dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Sehingga semua itu dapat terlihat akan rusaknya moral umat dan lain sebagainya.

4.      Pendangkalan Iman
Sebagai akibat dari pola fikir keilmuan diatas, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang diberikan oleh wahyu kadang hanya menjadi bahan tertawaan karena tidak ilmiah.

5.      Pola Hubungan Materialistik
Semangat persaudaraan dan saling tolong menolong yang didasarkan akan panggilan iman sudah tidak nampak lagi. Pola hubungan satu sama lain hanya dilihat dari sejauh mana seseorang memberikan manfaat secara material terhadap lainnya. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, nurani, hati, kemanusiaan dan keimanannya.

6.      Menghalalkan segala Cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistic sebagaimana yang disebutkan diatas, maka manusia mudah menggunakan prinsip menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuannya. Jika ini terus berlanjut akan terjadi kerusakan akhlak dalam berbagai bidang kehidupan.

7.      Stres dan Frustasi
Kehidupan modern yang kompetitif seperti ini mengakibatkan manusia terus bekerja dan bergerak tanpa mengenal batas dan kepuasaan. Hal ini mengakibatkan tidak pernah ada rasa syukur yang muncul dari hati manusia. Ketika mengalami kegagalan terkadang mereka stress dan frustasi, sehingga mereka tidak dapat berfikir dengan jernih akibat dari jauhnya kehidupan mereka dari nilai-nilai spiritual.

Dalam sebuah pesan keagamaan yang disampaikan Biara St Lorenzo, El Escorial Spanyol, pada Hari Jum’at 19 Agustus 2011, Paus Benediktus XVI menunjukan kegundahannya akan nasib manusia modern. Dia mengatakan bahwa “manusia modern sedang hidup dalam amnesia”. Paus yang mengumumkan pengunduran dirinya dari tugas kepausan pada hari Senin 11 Februari 2013 itu termasuk dari sekian banyak tokoh yang paham betul akan kondisi anomali masyarakat modern saat ini. Dengan tepat ia menyindir manusia telah terperangkap dalam keadaan lupa (amnesia). Seperti orang yang sudah lanjut usia, manusia tidak lagi mengerti akan dirinya, lupa akan Tuhannya, dan pikun akan lingkungan sekitarnya. Keadaan pikun itu membawanya dalam keadaan yang serba salah. Dia tidak lagi menjadi wujud yang rasional dan waras, bahkan dia menjadi fosil dan monster (meminjam istilah Michel Focault). Ia fosil karena tidak berguna dan monster karena menakutkan.

Pelukis Edvard Munch menggambarkan sisi lain manusia modern yang tidak kalah suram. Malalui mahakaryanya yang bertajuk “The Scream”, Munch mencoba menerjemahkan penderitaan manusia modern dalam sebuah karya lukis yang bermakna dalam. Dari tajuknya, lukisan ini membawa pesan jelas. Ia bicara soal kepedihan dan rasa sakit. Juga tentang dampak kebodohan dan keserakahan. Dalam lukisan itu, seorang pria digambarkan sedang berteriak dalam keadaan wajahnya sedang menguning. Tubuhnya kurus dan bajunya kumal. Sambil memegang kepalanya, ia menunjukan wajah yang resah di tengah-tengah gemuruh dunia yang tak bersahabat. Langit digambarkan berwarna merah darah, dan bumi berwarna abu-abu pertanda sedang tandus dan kering.

Keadaan itu adalah analogi bagi suasana kesengsaraan, kebingungan kehilangan, kepedihan, kedukaan, kepongahan modernitas, alam yang kacau, tubuh tak terkontrol, dan pergulatan eksistensial. Karena nilai dan kemampuannya menggambarkan nestapa manusia modern, “The Scream” menjadi lukisan yang paling diburu dan digemari dalam sejarah seni lukis modern. Lukisan itu laku dengan harga yang sangat mencengangkan, yakni 120 juta dolalar AS, dalam sebuah lelang di rumah lelang Sotheby’s New York pada tahun 2011.

Nestapa semacam ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi banyak tokoh dan pemikir agama di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Dalam sebuah perayaan Tri Suci Waisak 2555, Ketua Widya Kasaba Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bhiksu Tadisa Paramita Mahastavira berujar bahwa “ hanya dengan hati yang benar, setiap manusia bisa mengembangakn diri serupa seperti Sang Buddha”. Ini sindiran kepada setiap manusia, terutama umat Buddha agar kembali kepada niali-nilai kemanusiaannya dan menempuh jalan-jalan yang mulia dalam hidup.

Beberapa ilustrasi tersebut denga tegas munujukan bahwa kajian tentang manusia semakin mendesak, terutama untuk mencoba mencari cealah kecil yang masih tersisa agar manusia dapat keluar dari kungkungan kepedihannya sendiri. Celah kecil itu adalah ilmu pengetahuan.

Husain Heriyanto menyusun buku Paradigma Holistik yang merupakan ungkapan keprihatinan penulis atas apa yang dia sebut sebagai “arus proses dehumanisasi yang makin kencang” yang mengakibatkan situasi konyemporer dunia global didera dan dibelenggu oleh pelbagai konflik, kekerasan, ketiakadilan, dan hegemoni. Buku itu juga menunjukkan bahwa dunia dan peradaban modern sudah terperangkap ke dalam labirin yang di dalamnya manusia tidak lagi mampu melihat dirinya dan sekelilingnya. Meminjam istilah Sayyed Hossein Nasr, Heriyanto mengungkap bahwa manusia modern dikuasai oleh sifat misososphy yang berarti alergi, benci takut atau fobi terahdap kebenaran dan kebijakan.

Erich Fromm, yang juga dinukil oleh Heriyanto, menunjukan sisi lain dari manusia modern yang sepertinya lebih suram. Baginya, manusia dan tentunya masyarakat modern adalah masyarakat yang gila. Masyarakat gila dalam penilaian Fromm ditandai dengan fenomena alienasi dan reifikasi. Alienasi adalah sebuah penyakit mental akan keterasingan dari segala sesuatu sesama manusia, alam, Tuhan, dan jati diri. Sementara reifikasi adalah ketika seseorang merasa dirinya sebagai objek yang pada gilirannya dunia pun hanya dianggap sebagai fakta-fakta kosong tanpa makna dan nilai.

Dalam pandangan Heriyanto, wacana Cartesian-Newtonian adalah yang bertanggung jawab atas keadaan ini. Baginya, “wacana ini meperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, detrministik, linier, dan materailistik”.

Mesin jelas kosong dari makna dan nilai. Dan, ketika dunia menjadi seperti mesin, jelas akan menjadi tempat tinggal yang sunyi, tidak menghibur dan membosankan. Praktikpraktik konsumerisme dan hedonisme, bahkan tindak kekerasan dan perpecahan adalah pelarian orang-orang yang mengalami kebosanan ini. Dalam skema pemikiran Nasr, ketika dunia hanya dipahami sebagi benda atau fakta, manusia hanya akan tertarik untuk bekerja saja dan cenderung kehilangan potensi merenungnya. Penyakit utamanya manusia modern adalah bahwa dia telah kehilanagn sifat merenungnya dan menjadi makhluk pekerja.

Kehidupan modern sekarang ini tampak dengan wajah antagonistik. Di satu pihak, modernisasi telah mendatangkan kemajuan spektakuler dalam bidang material, tetapi di pihak lain modernisasi menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram. Penghancuran lingkungan oleh teknologi., krisis ekologi, dan lain-lain jelas merupakan dampak negatif dari gelombang modernisasi.
Nasr menilai bahwa manusia cenderung tamak, karena di dalam sains-sains humanitas secara umum, dan sains-sains yang berkepentingan dengan manusia, yaitu sains yang diperkirakan dapat emmberikan wawasan mengenai sifat hakiki manusia yang khas, sama sekali tidak bermuatan moral. Manusia modern hanya memberontak melawan Tuhan, mencukur dirinya sendiri dari muatan moral, dan menjauhkannya dari agama.

 Ilmu-ilmu modern tidak memperkenalkan manusia secara mendasar tentang jati dirinya. Akibatnya dia kehilangan pengetahuan yang merupakan sumber bagi kekuatannya. Dia menjadi lebih bergantung kepada pengetahuan eksternal yang tidak langsung berhubungan dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang berasal dari luar dirinya.

Nasr juga mencoba menunjukan bahwa sejalan dengan redupnya ilmu-ilmu simbolik, perhatian terhadap aspek sakral dalam kitab suci menurun. Penafsiran trehadap apa yang oleh Peter Berger disebut the sacred canopy kemudina hanya terbatas pada hal-ha yang bersifat duniawi saja. Dalam kasus islam, hal itu ditandai dengan kemuncualn berabgai kecanderungan untuk menafsirkan pesan-pesan agama secara harfiah dan artifisial yang pada gilirannya memunculkan pemahaman fundamentalis dan radikal. Ironisnya, penafsiran harfiah terhadap pesan agama itu terjadi pada saat yang sama ketike ilmu pengetahuan juga dikemas secara artifisial. Ilmu pengetahuan disampaikan hanya sebatas data empiris dan ilmiah membuang, baik sebagian maupun keseluruhan dimensi suci yang dikandungnya. Desakralisasi ilmu pengetahuan pun terjadi.

Dampaknya sungguh luar biasa. Ketika ilmu pengetahuan dikososngkan dari unsur yang suci, dan alam pun tidak lagi dipandang sebagai “cermin adanya Tuhan”, manusia tidak segan untuk bergerak secara masif mengeksplorasi dan bahkan mengeksploitasi apa saja yang bisa dianggap objek. Persoalannya adalah tidak hanya alam yang dianggap sebagai objek dalam wacana ilmiah modern, tetapi juga manusia bahkan agama. Eksplorasi terhadap alam mengakibatkan kerusakan lingkungan, eksploitasi kepada manusia mengakibatkan kerusakan tatanan sosial, dan pelecehan terhadap agama menimbulkan kerusakan moral.

Dunia yang sudah serba modern ini “kota manusia” telah mengambil alih peranan “kota Tuhan” sebagai entitas yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Namun dengan merebaknya ajaran dan mentalis materialistik, perbedaan antara yang material dan yang spiritual menjadi hilang, bahkan yang spiritual kemudian lenyap ditelan oleh yang material. Yang spiritual dicaplok oleh yang material, kemudian “kota manusia” menggantikan “kota Tuhan”. Dalam kondisi seperti itu, peradaban modern memunculkan watak-watak yang antroposentris yang menenggelamkan Tuhan dan memuja manusia sebagai pencipta.

Semula banyak orang terpukau dengan modernisasi, oarang-orang menyangka bahwa dengan modernisasi itu serta merta akan membawa kesejahteraan. Orang-orang lupa bahwa di balik modernisasi yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan the agony modernisation, yaitu adzab sengsara karena modernisasi. Gejalanya seperti semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan tindak kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat terlarang/narkotika, kenakalan remaja, prostitusi, bunuh diri, ganguan jiwa, dan lain sebagainya.

Dikemukakan oleh para ahli bahwa gejala psikososial tersebut disebabakan karena semakn modern suatu masyarakat semakin bertambah intensitas dan eksistensitasnya dari berbagai disorganisasi dan disintegrasi sosial di masyarakat.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai tulang punggung modernisasi dan industrialisasi, tanpa sadar telah terjadi penyalahgunaan sehingga mengakibtaka dampak negatif berupa kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud tidak semata-mata lingkungan hidup dalam arti fisik yaitu polusi dan keusakan alam lainnya, tetapi lingkungan dalam arti tata-nilai kehidupan.

Dalam era modernisasi dewasa ini, teknologi di bidang iinformasi juga maju dengan cepatnya sehingga tidak ada lagi batas ruang dan waktu antar negara satu dengan yang lainnya. Demikian pula teknologi di bidang transformasi maju dengan semakin canggih, dengan mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari negara satu ke negara lainnya semakin cepat. Kecepatan informasi dan mobilitas antar manusia di muka bumi ini mengakibatkan interaksi sosial budaya. Dalam prosese interaksi sosial budaya ini terjadilah proses pengaruh mempengaruhi. Imitasi, identifikasi dari negara-negara atau bangsa yang sudah maju terhadap negara-negara yang sedang berkembang atau terbelakang. Interaksi sosial budaya ini bila tidak diantisipasi segera, bukan tidak mungkin pada suatu saat akan menghilangkan identitas jati diri suatu bangsa.

Pengalaman-pengalaman di negara-negara maju telah membuktikan bahwa banyak warga masyarakatnya yang telah kehilangan identitas diri, mereka jadi bingung karena proses modernisasi yang mereka jalankan telah menimbulkan ketiadakpastian fundamental di bidang hukum, moral, norma, etika, dan tata nilai kehidupan.

Kasus Indonesia
Krisis yang melanda bangsa Indonesia semakin hari tampak semakin merambah ke berbagai aspek kehidupan bangsa. Secara kronologis, krisis yang melanda bangsa Indonesia ini bermula dari krisis keimanan kemudian menyebabakan terjadinya krisis moralitas, kemudian diikuti krisis sosial dan budaya.

Berbagai kerusuhan, pelanggaranhak asasi manusia, ketimpangan sosial, kebocoran uang negara, monooli dan lain-lainnya yang terjadi di Negara Indonesia itu sendiri karena lupa kepada Allah SWT atau dengan kata lain, berbagai penyimpangan yang telah terjadi di negara ini disebabkan semakin tipisnya sikap religiusitas bangsa Indonesia.

Secar ideologis bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kesadara religius yang tinggi. Sebab, sila Ketuhanan yang Maha Esa yang ada dalam Pancasila merupakan sila yang menyinari dan menjiwai sila-sila yang lain. Meskipun demikian, tidakdapat diingkari bahwa kerusuhan, pengrusakan, pelanggaran hak asasi dan ketimpangan sosial, budaya, dan politik telah menjadi kenyataan yang tidak dapat dibantah keberadaannya.

Dalam hal cara keberagamaan, bangsa Indonesia lebih cenderung pada formalitas dan cenderung melupakan makna serta esensi dari ajaran agama. Dari kecenderungan yang demikian ini , agama akan tampil dalam bentuknya yang formal, kaku dan sering manifes dalam kehidupan masyarakat dengan tanpa makna, jiwa dan ruh. Akibatnya agama menjadi kering, hambar dan bahkan tanpa rasa, sehingga tidak dapat membekas pada jiwa pemeluknya. Munculnya perilaku sesat dan bathil dari pribadi yang menjunjung tinggi agama tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan kebaragamaan.

 Ruh memiliki fungsi yang sangat dominan dalam diri manusia maka krisis spiritual bagi manusia menyebabakan terjadinya berbagai penyakit jiwa dapat menimbulkan berbagai kemadlaratan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Di samping itu, krisis spiritual juga akan menurunkan martabat manusia ke jurang kehancuran yang mengancam peradaban dan eksistensi manusia.

Problema spiritualitas juga, bagi masyarakat modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan begitu saja. Bagi orang modern perbedaan ruh dan jasad hanya ada dalam logika saja, tidak dalam realitas, karena ia adalah sebuah unit dari psikosomatik. Manusia modern dalam pandangan Carl Jung adalah the men who is aware of the immediate present. Karena itu, manusia modern telah kehilangan keyankinan-keyakinan metafisis dan estakologis. Sebab manusia lahir dari eksistensialisme yang hanya mengakui eksistensi manusia manakala manusia tersebut sudah merdeka. Dan dia merdeka hanya kalau dia menjadi atheis.

B. Urgensi Tasawuf dalam Konteks Sains-Teknologi
1.      Masyarakat Modern
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, telah menjadikan dunia ini semakin sempit. Budaya antar bangsa semakin tumpang tindih. Ini benar. Tapi, di sisi lain, perkembangan tersebut tidak berjalan seiring dengan ajaran agama. Ia lebih cenderung menegasikan norma-norma agama. Sikap dan pandangan hidup umat manusia mengalami pergeseran yang tajam, dari sikap hidup dan pandangan yang agamis, cenderung menjadi sikap dan pandangan hidup yang materialistik, egois dan kurang mempedulikan orang lain.

Proses modernisasi yang dijalankan oleh dunia Barat sejak zaman renaissans, di samping membawa dampak positif, juga telah menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya, modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan dalam kehidupan manusia. Sementara dampak negatifnya, modernisasi telah menimbulkan krisis makna hidup, kehampaan spiritual dan tersingkirnya agama dalam kehidupan manusia. Kondisi ini disebabkan karena parameter segala aspek kehidupan adalah materi. Amin Syukur menjelaskan, dengan mengutip ayat al-Qur’an, bahwa Allah membagi materi itu dalam tiga macam, yaitu: istri/suami, anak, dan harta Karena alasan itulah, para sufi seperti al-Hallaj, Rabi’at al-Adawiyah, Hasan al-Basri, dan tokoh-tokoh sufi lainnya berupaya untuk terus menyatu (ittihad ) dengan Rabb-nya. Hanya dengan ittihad itulah mereka (para sufi) merasa benar-benar mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan tak tergantikan.

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari perilaku para ahli sufi seperti disebutkan diatas yang bisa dijadikan sebagai patron, yakni sebagai berikut:

1.              Kekayaan (Harta)
Pada pandangan Islam, harta kekayaan bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai sarana mencapai pahala dan rida} -Nya. Argumentasi itu dapat dilihat dalam al-Qur’an surat al-Qasas ayat 77:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

2.              Dunia
Manusia seharusnya membuang apa yang disebut sebagai al-wahn, yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati. Sedangkan dunia dalam perspektif tasawuf adalah segala sesuatu selain Allah dan atau tidak memiliki nilai ilahiyah.

3.              Sikap Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf, sebagaimana dicontohkan oleh para tokoh sufi, lebih menekankan pada konsep taslim (berserah diri), tafwid} (menyerahkan diri semuanya kepada Allah), tazkiyat al-nafs (pembersih hati dan jiwa), tawhid bi al-khalq wa al-mashi’a  (Tuhanlah yang menciptakan makhluk sekaligus dengan semua kehendak dan keinginannya).

2.      Peran Tasawuf dalam Masyarakat Modern
Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern.47 Kondisi kekinian telah membawa orang jauh dari Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk membawanya kembali adalah dengan menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam Islam disebut tasawuf) atau membumikannya dalam kehidupan masa kini.

Salah satu tokoh era modern yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan internalisasi nilai-nilai spritual Islam adalah Sayyid Husein Nashr. Ia melihat datangnya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spritualitas yang sesungguhnya inhern dalam tradisi Islam. Bahkan beliau juga menyesali tindakan akomodatif dari kalangan modernis dan reformis dunia Islam yang telah berakibat menghancurkan seni dan budaya Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang muslim.

Menurut Komarudin Hidayat yang dikutip oleh Abudin Nata sufisme perlu untuk dimasyarakatkan dengan tujuan : Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteris (kebatinan Islam), baik terhadap masyarakat Islam yang mulai melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam, yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain ajaran Islam.

Islam memiliki semua hal yang diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi esoterik dan dimensi dalam daripada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah dari Islam, hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Tasawuf tidak didasarkan atas penarikan diri secara lahir dari dunia melainkan didasarkan atas pembebasan batin. Pembebasan batin dalam kenyataan bisa berpadu dengan aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai kepada perpaduan kehidupan aktif dan kontemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani Islam menciptakan suatu iklim di dalam kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens.

Tasawuf bukan berarti mengabaikan nilai-nilai syari’at (nilai-nilai formalistik dalam Islam). Tasawuf yang benar adalah adanya tawazun (keseimbangan) antara keduanya yaitu unsur lahir (formalistik) dan batin (substansialistik). Untuk betul-betul membumikan tasawuf (nilai-nilai spiritual Islam) di era kekinian atau dalam rangka mensosialisasikan tasawuf untuk mengatasi masalah moral yang ada pada saat ini diperlukan adanya pemahaman baru (interpretasi baru) terhadap term-term tasawuf yang selama ini dipandang sebagai penyebab melemahnya daya juang di kalangan umat Islam yang akhirnya menghantarkan umat Islam menjadi mandeg (statis).

Fazlur Rahman mengatakan bahwa tidak dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme mengemukakan kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Yang perlu kita lakukan pada saat sekarang ini adalah mengambil unsur-unsur yang diperlukan tersebut, memisahkan unsur-unsur tersebut dari serpihan-serpihan yang bersifat emosional dan sosiologikal, dan mengintegrasikan unsur-unsur tersebut ke dalam suatu Islam yang seragam dan integral.

Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga orang merasa dengan kesadarannya itu berada dihadirat-Nya. Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak berserakan. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam faham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah bayang- bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan.

Dengan adanya bantuan tasawuf, maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan. Tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sikap bathin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi, dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.

Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan- perbuatan yang tercela menurut agama.

Sikap materialistik dan hedonistik yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud (asketisisme). Dalam Islam asketisisme ini mempunyai pengertian khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, tetapi merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus terhadap kehidupan, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecendrungan hati mereka, serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.

Konsep zuhud, yang pada intinya sikap tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi yang sementara itu, atau menghindarkan diri dari kecendrungan-kecendrungan hati yang terlalu mencintai dunia.56 Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai oleh Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi, putus asa dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu menerima terhadap segala keputusan Tuhan setelah berusaha dengan semaksimal mungkin.

Ajaran Uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniawiaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupannya, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa ke mana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya, berusaha membebaskan manusia dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya

This Is The Oldest Page


EmoticonEmoticon