A. Problematika Masyarakat Modern
Manusia modern dalam istilah
Auguste Comte, tokoh positivisme, adalah mereka yang sudah sampai kepada
tingkat pemikiran positif atau serba terukur dn bernilai kuantitatif. Pada
tahapan ini manusia sudah lepas dari pemikiran religius dan pemikiran filosofis
yang masih global. Mereka telah sampai kepada pengetahuan yang rinci tentang
sebab-sebab segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.
Dari keterangan tersebut
diketahui bahwa manusia modern melihat keberadaanya tidak lebih dari keberadaan
sebua mobil yang tersusun dari bagian-bagian sebab akibat. Mereka tidak lagi
mempercayai adanya spirit yang ada pada dirinya, karena hal tersebut secara
meteri tidak pernah ada. Kefanatikan manusia modern terhadap eksistensialisme
dan positivisme membuat mereka menafikkan berbagai informasi, baik yang
bersumber dari kitab suci atau dari radisis mistik yang menyatakan bahwa
manusia itu memiliki unsur spiritual. Karenanay manusia modern mengalami krisis
spiritual.
Dengan tanpa mengingkari
berbagai kemajuan dan keberhasilannya eksistensialisme dari positivisme yang
telah melahirkan manusia yang tidak sempirna, pincang, hanya berorintasi
kekinian (duniawiyah), mengingkari spiritualitas dan agama. Mausia yang tidak
sempurna ini selanjutnya mengahsilkan perubahan dalam sosial budaya baik yang
terjadi secra evolusi maupun revolusi. Setiap perubahan yang tidak dilandasi
oleh pegangan hidup dan tujuan hidup yang kuat akan menimbulkan krisis. Sebab
hilangnya keyakinan dan ketidaktentuan dalam proses perubahan akan
mengakibatkan ketidakpastian, ketidakpastian menyebabkan kesangsian,
kebimbangan melahirkan kegelisahan dan akhirnya memunculkan rasa ketakutan.
Karena itu, manusia modern
selalu dihinggapi oleh rasa tidak aman dan kadang malah merasa terancam oleh
kemajuan yang diperolehnya sendiri.
Seiring dengan berjalannya
IPTEK menyebabkan perubahan problematika yang terjadi anatara masa pra-kemajuan
dan pasca-kemajuan IPTEK, adapun beberapa masalah yang terjadi dalam masyarakat
modern yakni sebagai berikut:
1. Desintegrasi Ilmu Pengetahuan
Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi
dibidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma
(cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika
seseorang mengalami masalah kemudian pergi kepada kaum teolog, ilmuwan,
politisi, ekonom psikolog dan lain-lain, ia akan memberikan jawaban yang
berbeda-beda sehingga dapat membingungkan manusia.
2. Kepribadian yang terpecah
kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang
coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan berkotak-kotak, maka manusia
menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur oleh rumus ilmu
yang eksak dan kering. Akibatnya hal ini dapat menghilangkan nilai rohaniah,
jika keilmuan yang berkembang itu tidak berada dibawah kendali agama maka
proses kehancuran manusia akan terus berjalan.
3. Penyalahgunaan IPTEK
Akibat dari lepasnya ilmu pengetahuan dan tekologi dari ikatan
spiritual, maka IPTEK telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya.
Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk penjajahan satu bangsa.
Kemampuan dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia.
Sehingga semua itu dapat terlihat akan rusaknya moral umat dan lain sebagainya.
4. Pendangkalan Iman
Sebagai akibat dari pola fikir keilmuan diatas, khususnya
ilmu-ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan
manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh
wahyu, bahkan informasi yang diberikan oleh wahyu kadang hanya menjadi bahan
tertawaan karena tidak ilmiah.
5. Pola Hubungan Materialistik
Semangat persaudaraan dan saling tolong menolong yang didasarkan
akan panggilan iman sudah tidak nampak lagi. Pola hubungan satu sama lain hanya
dilihat dari sejauh mana seseorang memberikan manfaat secara material terhadap
lainnya. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan
akal sehat, nurani, hati, kemanusiaan dan keimanannya.
6. Menghalalkan segala Cara
Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup
materialistic sebagaimana yang disebutkan diatas, maka manusia mudah
menggunakan prinsip menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuannya. Jika
ini terus berlanjut akan terjadi kerusakan akhlak dalam berbagai bidang
kehidupan.
7. Stres dan Frustasi
Kehidupan modern yang kompetitif seperti ini mengakibatkan manusia
terus bekerja dan bergerak tanpa mengenal batas dan kepuasaan. Hal ini
mengakibatkan tidak pernah ada rasa syukur yang muncul dari hati manusia.
Ketika mengalami kegagalan terkadang mereka stress dan frustasi, sehingga
mereka tidak dapat berfikir dengan jernih akibat dari jauhnya kehidupan mereka
dari nilai-nilai spiritual.
Dalam sebuah pesan keagamaan
yang disampaikan Biara St Lorenzo, El Escorial Spanyol, pada Hari Jum’at 19
Agustus 2011, Paus Benediktus XVI menunjukan kegundahannya akan nasib manusia
modern. Dia mengatakan bahwa “manusia modern sedang hidup dalam amnesia”. Paus
yang mengumumkan pengunduran dirinya dari tugas kepausan pada hari Senin 11
Februari 2013 itu termasuk dari sekian banyak tokoh yang paham betul akan
kondisi anomali masyarakat modern saat ini. Dengan tepat ia menyindir manusia
telah terperangkap dalam keadaan lupa (amnesia). Seperti orang yang sudah
lanjut usia, manusia tidak lagi mengerti akan dirinya, lupa akan Tuhannya, dan
pikun akan lingkungan sekitarnya. Keadaan pikun itu membawanya dalam keadaan
yang serba salah. Dia tidak lagi menjadi wujud yang rasional dan waras, bahkan
dia menjadi fosil dan monster (meminjam istilah Michel Focault). Ia fosil
karena tidak berguna dan monster karena menakutkan.
Pelukis Edvard Munch menggambarkan
sisi lain manusia modern yang tidak kalah suram. Malalui mahakaryanya yang
bertajuk “The Scream”, Munch mencoba menerjemahkan penderitaan manusia modern
dalam sebuah karya lukis yang bermakna dalam. Dari tajuknya, lukisan ini
membawa pesan jelas. Ia bicara soal kepedihan dan rasa sakit. Juga tentang
dampak kebodohan dan keserakahan. Dalam lukisan itu, seorang pria digambarkan
sedang berteriak dalam keadaan wajahnya sedang menguning. Tubuhnya kurus dan
bajunya kumal. Sambil memegang kepalanya, ia menunjukan wajah yang resah di
tengah-tengah gemuruh dunia yang tak bersahabat. Langit digambarkan berwarna
merah darah, dan bumi berwarna abu-abu pertanda sedang tandus dan kering.
Keadaan itu adalah analogi bagi
suasana kesengsaraan, kebingungan kehilangan, kepedihan, kedukaan, kepongahan
modernitas, alam yang kacau, tubuh tak terkontrol, dan pergulatan eksistensial.
Karena nilai dan kemampuannya menggambarkan nestapa manusia modern, “The
Scream” menjadi lukisan yang paling diburu dan digemari dalam sejarah seni
lukis modern. Lukisan itu laku dengan harga yang sangat mencengangkan, yakni
120 juta dolalar AS, dalam sebuah lelang di rumah lelang Sotheby’s New York
pada tahun 2011.
Nestapa semacam ini menjadi
keprihatinan tersendiri bagi banyak tokoh dan pemikir agama di berbagai belahan
dunia termasuk Indonesia. Dalam sebuah perayaan Tri Suci Waisak 2555, Ketua
Widya Kasaba Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) Bhiksu
Tadisa Paramita Mahastavira berujar bahwa “ hanya dengan hati yang benar,
setiap manusia bisa mengembangakn diri serupa seperti Sang Buddha”. Ini
sindiran kepada setiap manusia, terutama umat Buddha agar kembali kepada
niali-nilai kemanusiaannya dan menempuh jalan-jalan yang mulia dalam hidup.
Beberapa ilustrasi tersebut denga
tegas munujukan bahwa kajian tentang manusia semakin mendesak, terutama untuk
mencoba mencari cealah kecil yang masih tersisa agar manusia dapat keluar dari
kungkungan kepedihannya sendiri. Celah kecil itu adalah ilmu pengetahuan.
Husain Heriyanto menyusun buku
Paradigma Holistik yang merupakan ungkapan keprihatinan penulis atas apa yang
dia sebut sebagai “arus proses dehumanisasi yang makin kencang” yang
mengakibatkan situasi konyemporer dunia global didera dan dibelenggu oleh
pelbagai konflik, kekerasan, ketiakadilan, dan hegemoni. Buku itu juga
menunjukkan bahwa dunia dan peradaban modern sudah terperangkap ke dalam
labirin yang di dalamnya manusia tidak lagi mampu melihat dirinya dan
sekelilingnya. Meminjam istilah Sayyed Hossein Nasr, Heriyanto mengungkap bahwa
manusia modern dikuasai oleh sifat misososphy yang berarti alergi, benci takut
atau fobi terahdap kebenaran dan kebijakan.
Erich Fromm, yang juga dinukil
oleh Heriyanto, menunjukan sisi lain dari manusia modern yang sepertinya lebih
suram. Baginya, manusia dan tentunya masyarakat modern adalah masyarakat yang
gila. Masyarakat gila dalam penilaian Fromm ditandai dengan fenomena alienasi
dan reifikasi. Alienasi adalah sebuah penyakit mental akan keterasingan dari
segala sesuatu sesama manusia, alam, Tuhan, dan jati diri. Sementara reifikasi
adalah ketika seseorang merasa dirinya sebagai objek yang pada gilirannya dunia
pun hanya dianggap sebagai fakta-fakta kosong tanpa makna dan nilai.
Dalam pandangan Heriyanto,
wacana Cartesian-Newtonian adalah yang bertanggung jawab atas keadaan ini.
Baginya, “wacana ini meperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar
yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, detrministik, linier, dan
materailistik”.
Mesin jelas kosong dari makna
dan nilai. Dan, ketika dunia menjadi seperti mesin, jelas akan menjadi tempat
tinggal yang sunyi, tidak menghibur dan membosankan. Praktikpraktik
konsumerisme dan hedonisme, bahkan tindak kekerasan dan perpecahan adalah
pelarian orang-orang yang mengalami kebosanan ini. Dalam skema pemikiran Nasr,
ketika dunia hanya dipahami sebagi benda atau fakta, manusia hanya akan
tertarik untuk bekerja saja dan cenderung kehilangan potensi merenungnya.
Penyakit utamanya manusia modern adalah bahwa dia telah kehilanagn sifat merenungnya
dan menjadi makhluk pekerja.
Kehidupan modern sekarang ini
tampak dengan wajah antagonistik. Di satu pihak, modernisasi telah mendatangkan
kemajuan spektakuler dalam bidang material, tetapi di pihak lain modernisasi
menghasilkan wajah kemanusiaan yang buram. Penghancuran lingkungan oleh
teknologi., krisis ekologi, dan lain-lain jelas merupakan dampak negatif dari
gelombang modernisasi.
Nasr menilai bahwa manusia
cenderung tamak, karena di dalam sains-sains humanitas secara umum, dan
sains-sains yang berkepentingan dengan manusia, yaitu sains yang diperkirakan
dapat emmberikan wawasan mengenai sifat hakiki manusia yang khas, sama sekali
tidak bermuatan moral. Manusia modern hanya memberontak melawan Tuhan, mencukur
dirinya sendiri dari muatan moral, dan menjauhkannya dari agama.
Ilmu-ilmu modern tidak
memperkenalkan manusia secara mendasar tentang jati dirinya. Akibatnya dia
kehilangan pengetahuan yang merupakan sumber bagi kekuatannya. Dia menjadi
lebih bergantung kepada pengetahuan eksternal yang tidak langsung berhubungan
dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang berasal dari luar dirinya.
Nasr juga mencoba menunjukan
bahwa sejalan dengan redupnya ilmu-ilmu simbolik, perhatian terhadap aspek
sakral dalam kitab suci menurun. Penafsiran trehadap apa yang oleh Peter Berger
disebut the sacred canopy kemudina hanya terbatas pada hal-ha yang bersifat
duniawi saja. Dalam kasus islam, hal itu ditandai dengan kemuncualn berabgai
kecanderungan untuk menafsirkan pesan-pesan agama secara harfiah dan artifisial
yang pada gilirannya memunculkan pemahaman fundamentalis dan radikal.
Ironisnya, penafsiran harfiah terhadap pesan agama itu terjadi pada saat yang
sama ketike ilmu pengetahuan juga dikemas secara artifisial. Ilmu pengetahuan
disampaikan hanya sebatas data empiris dan ilmiah membuang, baik sebagian
maupun keseluruhan dimensi suci yang dikandungnya. Desakralisasi ilmu
pengetahuan pun terjadi.
Dampaknya sungguh luar biasa.
Ketika ilmu pengetahuan dikososngkan dari unsur yang suci, dan alam pun tidak
lagi dipandang sebagai “cermin adanya Tuhan”, manusia tidak segan untuk
bergerak secara masif mengeksplorasi dan bahkan mengeksploitasi apa saja yang
bisa dianggap objek. Persoalannya adalah tidak hanya alam yang dianggap sebagai
objek dalam wacana ilmiah modern, tetapi juga manusia bahkan agama. Eksplorasi
terhadap alam mengakibatkan kerusakan lingkungan, eksploitasi kepada manusia
mengakibatkan kerusakan tatanan sosial, dan pelecehan terhadap agama
menimbulkan kerusakan moral.
Dunia yang sudah serba modern
ini “kota manusia” telah mengambil alih peranan “kota Tuhan” sebagai entitas
yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Namun dengan merebaknya ajaran
dan mentalis materialistik, perbedaan antara yang material dan yang spiritual
menjadi hilang, bahkan yang spiritual kemudian lenyap ditelan oleh yang
material. Yang spiritual dicaplok oleh yang material, kemudian “kota manusia”
menggantikan “kota Tuhan”. Dalam kondisi seperti itu, peradaban modern
memunculkan watak-watak yang antroposentris yang menenggelamkan Tuhan dan
memuja manusia sebagai pencipta.
Semula banyak orang terpukau
dengan modernisasi, oarang-orang menyangka bahwa dengan modernisasi itu serta
merta akan membawa kesejahteraan. Orang-orang lupa bahwa di balik modernisasi
yang serba gemerlap memukau itu ada gejala yang dinamakan the agony
modernisation, yaitu adzab sengsara karena modernisasi. Gejalanya seperti
semakin meningkatnya angka-angka kriminalitas yang disertai dengan tindak
kekerasan, perkosaan, judi, penyalahgunaan obat terlarang/narkotika, kenakalan
remaja, prostitusi, bunuh diri, ganguan jiwa, dan lain sebagainya.
Dikemukakan oleh para ahli
bahwa gejala psikososial tersebut disebabakan karena semakn modern suatu
masyarakat semakin bertambah intensitas dan eksistensitasnya dari berbagai
disorganisasi dan disintegrasi sosial di masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi sebagai tulang punggung modernisasi dan industrialisasi, tanpa sadar
telah terjadi penyalahgunaan sehingga mengakibtaka dampak negatif berupa
kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud tidak
semata-mata lingkungan hidup dalam arti fisik yaitu polusi dan keusakan alam
lainnya, tetapi lingkungan dalam arti tata-nilai kehidupan.
Dalam era modernisasi dewasa
ini, teknologi di bidang iinformasi juga maju dengan cepatnya sehingga tidak
ada lagi batas ruang dan waktu antar negara satu dengan yang lainnya. Demikian
pula teknologi di bidang transformasi maju dengan semakin canggih, dengan
mobilitas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari negara satu ke
negara lainnya semakin cepat. Kecepatan informasi dan mobilitas antar manusia
di muka bumi ini mengakibatkan interaksi sosial budaya. Dalam prosese interaksi
sosial budaya ini terjadilah proses pengaruh mempengaruhi. Imitasi,
identifikasi dari negara-negara atau bangsa yang sudah maju terhadap
negara-negara yang sedang berkembang atau terbelakang. Interaksi sosial budaya
ini bila tidak diantisipasi segera, bukan tidak mungkin pada suatu saat akan
menghilangkan identitas jati diri suatu bangsa.
Pengalaman-pengalaman di
negara-negara maju telah membuktikan bahwa banyak warga masyarakatnya yang
telah kehilangan identitas diri, mereka jadi bingung karena proses modernisasi
yang mereka jalankan telah menimbulkan ketiadakpastian fundamental di bidang
hukum, moral, norma, etika, dan tata nilai kehidupan.
Kasus Indonesia
Krisis yang melanda bangsa
Indonesia semakin hari tampak semakin merambah ke berbagai aspek kehidupan
bangsa. Secara kronologis, krisis yang melanda bangsa Indonesia ini bermula
dari krisis keimanan kemudian menyebabakan terjadinya krisis moralitas,
kemudian diikuti krisis sosial dan budaya.
Berbagai kerusuhan,
pelanggaranhak asasi manusia, ketimpangan sosial, kebocoran uang negara,
monooli dan lain-lainnya yang terjadi di Negara Indonesia itu sendiri karena
lupa kepada Allah SWT atau dengan kata lain, berbagai penyimpangan yang
telah terjadi di negara ini disebabkan semakin tipisnya sikap religiusitas
bangsa Indonesia.
Secar ideologis bangsa
Indonesia adalah bangsa yang memiliki kesadara religius yang tinggi. Sebab,
sila Ketuhanan yang Maha Esa yang ada dalam Pancasila merupakan sila yang
menyinari dan menjiwai sila-sila yang lain. Meskipun demikian, tidakdapat
diingkari bahwa kerusuhan, pengrusakan, pelanggaran hak asasi dan ketimpangan
sosial, budaya, dan politik telah menjadi kenyataan yang tidak dapat dibantah
keberadaannya.
Dalam hal cara keberagamaan,
bangsa Indonesia lebih cenderung pada formalitas dan cenderung melupakan makna
serta esensi dari ajaran agama. Dari kecenderungan yang demikian ini , agama
akan tampil dalam bentuknya yang formal, kaku dan sering manifes dalam
kehidupan masyarakat dengan tanpa makna, jiwa dan ruh. Akibatnya agama menjadi
kering, hambar dan bahkan tanpa rasa, sehingga tidak dapat membekas pada jiwa
pemeluknya. Munculnya perilaku sesat dan bathil dari pribadi yang menjunjung
tinggi agama tidak dapat dipisahkan dari kecenderungan kebaragamaan.
Ruh memiliki fungsi yang
sangat dominan dalam diri manusia maka krisis spiritual bagi manusia
menyebabakan terjadinya berbagai penyakit jiwa dapat menimbulkan berbagai
kemadlaratan baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Di samping itu,
krisis spiritual juga akan menurunkan martabat manusia ke jurang kehancuran
yang mengancam peradaban dan eksistensi manusia.
Problema spiritualitas juga,
bagi masyarakat modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan begitu
saja. Bagi orang modern perbedaan ruh dan jasad hanya ada dalam logika saja,
tidak dalam realitas, karena ia adalah sebuah unit dari psikosomatik. Manusia modern
dalam pandangan Carl Jung adalah the men who is aware of the immediate present.
Karena itu, manusia modern telah kehilangan keyankinan-keyakinan metafisis dan
estakologis. Sebab manusia lahir dari eksistensialisme yang hanya mengakui
eksistensi manusia manakala manusia tersebut sudah merdeka. Dan dia merdeka
hanya kalau dia menjadi atheis.
B. Urgensi Tasawuf dalam Konteks
Sains-Teknologi
1. Masyarakat Modern
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang demikian pesat, telah menjadikan dunia ini semakin sempit.
Budaya antar bangsa semakin tumpang tindih. Ini benar. Tapi, di sisi lain,
perkembangan tersebut tidak berjalan seiring dengan ajaran agama. Ia lebih
cenderung menegasikan norma-norma agama. Sikap dan pandangan hidup umat manusia
mengalami pergeseran yang tajam, dari sikap hidup dan pandangan yang agamis,
cenderung menjadi sikap dan pandangan hidup yang materialistik, egois dan
kurang mempedulikan orang lain.
Proses modernisasi yang
dijalankan oleh dunia Barat sejak zaman renaissans, di samping membawa dampak
positif, juga telah menimbulkan dampak negatif. Dampak positifnya, modernisasi
telah membawa kemudahan-kemudahan dalam kehidupan manusia. Sementara dampak
negatifnya, modernisasi telah menimbulkan krisis makna hidup, kehampaan spiritual
dan tersingkirnya agama dalam kehidupan manusia. Kondisi ini disebabkan karena
parameter segala aspek kehidupan adalah materi. Amin Syukur menjelaskan, dengan
mengutip ayat al-Qur’an, bahwa Allah membagi materi itu dalam tiga macam,
yaitu: istri/suami, anak, dan harta Karena alasan itulah, para sufi seperti
al-Hallaj, Rabi’at al-Adawiyah, Hasan al-Basri, dan tokoh-tokoh sufi lainnya
berupaya untuk terus menyatu (ittihad ) dengan Rabb-nya.
Hanya dengan ittihad itulah mereka (para sufi) merasa
benar-benar mendapatkan kesenangan yang sebenarnya dan tak tergantikan.
Ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan dari perilaku para ahli sufi seperti disebutkan diatas yang bisa
dijadikan sebagai patron, yakni sebagai berikut:
1. Kekayaan (Harta)
Pada pandangan Islam, harta kekayaan bukan sebagai tujuan, tetapi
sebagai sarana mencapai pahala dan rida} -Nya. Argumentasi itu dapat dilihat
dalam al-Qur’an surat al-Qasas ayat 77:
وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ
ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن
كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧
77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
2. Dunia
Manusia seharusnya membuang apa yang disebut sebagai al-wahn,
yaitu penyakit cinta dunia dan takut mati. Sedangkan dunia dalam perspektif
tasawuf adalah segala sesuatu selain Allah dan atau tidak memiliki nilai
ilahiyah.
3. Sikap Ajaran Tasawuf
Ajaran tasawuf, sebagaimana dicontohkan oleh para tokoh sufi,
lebih menekankan pada konsep taslim (berserah diri), tafwid}
(menyerahkan diri semuanya kepada Allah), tazkiyat al-nafs (pembersih
hati dan jiwa), tawhid bi al-khalq wa al-mashi’a (Tuhanlah
yang menciptakan makhluk sekaligus dengan semua kehendak dan keinginannya).
2. Peran Tasawuf dalam Masyarakat
Modern
Modernitas senyatanya tidak
hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Sementara modernitas
dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik
gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi
daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian
satu-satunya yang dapat dilakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus
perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan
dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene mengatakan bahwa dalam kondisi
seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan
spiritualitas manusia modern.47 Kondisi kekinian telah membawa orang jauh dari
Tuhannya. Untuk itu, jalan untuk membawanya kembali adalah dengan
menginternalkan nilai-nilai spritual (dalam Islam disebut tasawuf) atau
membumikannya dalam kehidupan masa kini.
Salah satu tokoh era modern
yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan internalisasi nilai-nilai spritual
Islam adalah Sayyid Husein Nashr. Ia melihat datangnya malapetaka dalam manusia
modern akibat hilangnya spritualitas yang sesungguhnya inhern dalam
tradisi Islam. Bahkan beliau juga menyesali tindakan akomodatif dari kalangan
modernis dan reformis dunia Islam yang telah berakibat menghancurkan seni dan
budaya Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang muslim.
Menurut Komarudin Hidayat yang
dikutip oleh Abudin Nata sufisme perlu untuk dimasyarakatkan dengan tujuan
: Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam
menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai
spritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang
aspek esoteris (kebatinan Islam), baik terhadap masyarakat Islam yang mulai
melupakannya maupun non Islam, khususnya terhadap masyarakat Barat. Ketiga,
untuk memberikan penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris Islam,
yakni sufisme, adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila wilayah ini kering
dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek yang lain ajaran Islam.
Islam memiliki semua hal yang
diperlukan bagi realisasi kerohanian dalam artian yang luhur. Tasawuf adalah
kendaraan pilihan untuk tujuan ini. Oleh karena tasawuf merupakan dimensi
esoterik dan dimensi dalam daripada Islam ia tidak dapat dipraktekkan terpisah
dari Islam, hanya Islam yang dapat membimbing mereka dalam mencapai istana
batin kesenangan dan kedamaian yang bernama tasawuf. Tasawuf tidak didasarkan
atas penarikan diri secara lahir dari dunia melainkan didasarkan atas
pembebasan batin. Pembebasan batin dalam kenyataan bisa berpadu dengan
aktivitas lahir yang intens. Tasawuf sampai kepada perpaduan kehidupan aktif
dan kontemplatif selaras dengan sifat penyatuan Islam sendiri terhadap kedua
bentuk kehidupan ini. Kekuatan rohani Islam menciptakan suatu iklim di dalam
kehidupan lahiriah melalui aktivitas yang intens.
Tasawuf bukan berarti
mengabaikan nilai-nilai syari’at (nilai-nilai formalistik dalam Islam). Tasawuf
yang benar adalah adanya tawazun (keseimbangan) antara
keduanya yaitu unsur lahir (formalistik) dan batin (substansialistik). Untuk
betul-betul membumikan tasawuf (nilai-nilai spiritual Islam) di era kekinian
atau dalam rangka mensosialisasikan tasawuf untuk mengatasi masalah moral yang
ada pada saat ini diperlukan adanya pemahaman baru (interpretasi baru) terhadap
term-term tasawuf yang selama ini dipandang sebagai penyebab melemahnya daya
juang di kalangan umat Islam yang akhirnya menghantarkan umat Islam menjadi
mandeg (statis).
Fazlur Rahman mengatakan bahwa
tidak dapat diragukan lagi bahwa pada dasarnya sufisme mengemukakan
kebutuhan-kebutuhan religius yang penting dalam diri manusia. Yang perlu kita
lakukan pada saat sekarang ini adalah mengambil unsur-unsur yang diperlukan
tersebut, memisahkan unsur-unsur tersebut dari serpihan-serpihan yang bersifat
emosional dan sosiologikal, dan mengintegrasikan unsur-unsur tersebut ke dalam
suatu Islam yang seragam dan integral.
Intisari ajaran tasawuf adalah
bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
orang merasa dengan kesadarannya itu berada dihadirat-Nya. Kemampuan
berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan
yang nampak berserakan. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa
sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam faham wahdatul
wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya
adalah bayang- bayang atau foto copy Tuhan. Dengan cara demikian antara satu
ilmu dengan ilmu lainnya akan saling mengarah pada Tuhan.
Dengan adanya bantuan tasawuf,
maka ilmu pengetahuan satu dan lainnya tidak akan bertabrakan, karena ia berada
dalam satu jalan dan satu tujuan. Tasawuf melatih manusia agar memiliki
ketajaman bathin dan kehalusan budi pekerti, sikap bathin dan kehalusan budi
yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan
pada setiap masalah yang dihadapi, dengan cara demikian, ia akan terhindar dari
melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela menurut agama.
Selanjutnya tasawuf melatih
manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin
dan kehalusan budi pekerti yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu
mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Dengan
cara demikian, ia akan terhindar dari melakukan perbuatan- perbuatan yang
tercela menurut agama.
Sikap materialistik dan hedonistik
yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan
konsep zuhud (asketisisme). Dalam Islam asketisisme ini
mempunyai pengertian khusus. Ia bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan
duniawi, tetapi merupakan hikmah yang membuat penganutnya mempunyai visi khusus
terhadap kehidupan, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, namun kehidupan
duniawi itu tidak menguasai kecendrungan hati mereka, serta tidak membuat
mereka mengingkari Tuhannya.
Konsep zuhud, yang
pada intinya sikap tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh duniawi
yang sementara itu, atau menghindarkan diri dari kecendrungan-kecendrungan hati
yang terlalu mencintai dunia.56 Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak akan
berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Sebab tujuan yang ingin
dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka caranya pun harus ditempuh
dengan cara yang disukai oleh Tuhan. Selanjutnya sikap frustasi, putus asa
dapat diatasi dengan sikap ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu
menerima terhadap segala keputusan Tuhan setelah berusaha dengan semaksimal
mungkin.
Ajaran Uzlah yang terdapat
dalam tasawuf, yaitu usaha mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya
keduniawiaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak
menjadi sekruft dari mesin kehidupannya, yang tidak tahu lagi arahnya mau
dibawa ke mana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya, berusaha membebaskan manusia
dari perangkap-perangkap kehidupan yang memperbudaknya
EmoticonEmoticon